Kanal

ANCAMAN UTANG

By: Robby Patria

Ekonomi bukan hanya soal memperoleh penghasilan, tetapi juga bagaimana memanfaatkan penghasilan itu dengan baik untuk meningkatkan kehidupan dan kebebasan kita (Amartya Sen).

Rezim utang nampaknya melanda negara negara maju dan negara berkembang guna menghadapi pandemi Covid 19.Tak terkecuali Amerika yang menaikkan utang mereka melebihi 132 persen dari PDB. Negara mencari penghasilan untuk mendanai pembangunan dan masalah sosial akibat Pandemi Covid 19 melalui utang. 

Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan Indonesia yakin dengan menaikan utang Indonesia akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi dan mengamankan stabilitas perekonomian Indonesia. Ia mematok hingga batas 43 persen dari PDB ketika rapat dengan DPR pada akhir Mei 2021.

Contoh lain di negeri Paman Sam misalnya Presiden Biden memperkirakan defisit $1,8 triliun untuk 2022 dan defisit $1,3 triliun untuk tahun-tahun mendatang untuk mendanai investasi besar di bidang pendidikan, infrastruktur, dan jaring pengaman sosial, penelitian, jalan dan jembatan, Internet berkecepatan tinggi untuk semua, pra-K universal, program jaring pengaman dan perawatan kesehatan rumah yang diperluas untuk orang tua.(Washington Post).

 Secara keseluruhan, Biden mengusulkan semacam ekspansi besar-besaran dari peran pemerintah federal dalam perekonomian yang tidak terlihat sejak Perang Dunia II.

Dengan kebijakan utang yang tinggi tim ekonomi Biden memperkirakan akan menikmati pertumbuhan yang lebih cepat, lapangan kerja penuh dan inflasi moderat yang tidak pernah naik di atas 2,3 persen. Dan sekarang di Amerika tersedia banyak lapangan pekerjaan setelah sebelumnya banyak yang nganggur.

Efek utang ini, maka Biden akan menaikan pajak bagi kalangan berada atau orang kaya yang sebenarnya tak sesuai dengan janji politiknya. Pajak akan dianggap menutupi sedikit utang yang melambung. Ini juga mirip dengan wacana Sri Mulyani menaikkan pajak bagi kalangan berada di Indonesia agar pendapatan dari sektor pajak kita meningkat. 

Lalu bagaimana utang di Indonesia? Tahun 2019 sudah mencapai 30,33% dari PDB.  Januari tahun ini sudah menembus angka 40%, yaitu  mencapai 40,28%. Lalu, tahun depan sudah mencapai 44%. Utang kita sudah menembus Rp6.445 triliun sampai Maret 2021.

Semua itu untuk memperlancar proyek infrastruktur, dan stabilitas nasional khususnya bidang sosial dalam mengatasi masalah pandemi. 

Persoalannya, di Maret 2021, masih ada Rp180 triliun lebih dana transfer daerah dari APBN  itu mengendap di kas daerah yang dititipkan di bank bank daerah. Memang ada bunga dari dana yang mengendap itu. Namun dampaknya buruk karena memperlambat laju pertumbuhan ekonomi di daerah.

Misalnya di Provinsi Kepulauan Riau, sampai dengan April serapan anggaran masih rendah baru 10 persen sehingga Presiden Joko Widodo mengingatkan Pemda untuk segera belanja APBD  ketiga Jokowi kunjungan kerja di Kepri 19 Mei lalu.

Ia mendesak agar proyek proyek pembangunan dapat dilelang sehingga ekonomi masyarakat bergerak. Jangan hanya belanja pegawai saja yang dipercepat. Namun belanja modallah yang utama agar masyarakat bawah dapat merasakan tetesan APBD maupun APBN.

Yang menarik, banyak Pemerintah daerah menerapkan divisit cukup besar. Dengan meningkatkan belanja daripada pendapatan saat menyusun APBD. Sementara, di triwulan kedua, belanja yang sudah disusun masih terkendala dan tak berjalan sesuai rencana dengan pelbagai alasan. Ujung ujungnya di akhir tahun, sisa anggaran ditemukan banyak tersisa di setiap OPD karena kegiatan tak terlaksana.

Dengan kondisi perekonomian dunia, nasional, yang masih diprediksi belum stabil, maka tak ada yang tahu target pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diprediksi 5 persen dapat terwujud. Dibanding tahun lalu, Indonesia memang sudah lebih baik. Namun kalah baik dibandingkan Vietnam yang sukses tumbuh di 2,9 persen.

Pertumbuhan ekonomi Vietnam didorong oleh manufaktur yang terus berproduksi. Negara komunis itu sukses mengendalikan pandemi dibandingkan Indonesia yang saat ini masih berjuang berada di papan atas di Asia Tenggara.

Kuncinya, pandemi dapat dikendalikan maka ekonomi akan tumbuh bergerak. Sementara jika pandemi tak dapat dikendalikan karena keterbatasan tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, kekuatan keuangan, kepatuhan warga akan protokol kesehatan, dan kebijakan yang baik, maka pandemi terus bertambah. Otomatis sektor perekonomian akan stagnasi. 

Jika pun pertumbuhan ekonomi naik dengan bantuan subsidi pemerintah dengan strategi utang. Risiko jika utang terlalu besar, maka  pemerintah ke depan akan direpotkan membayar pinjaman berupa bunga pinjaman dan angsuran pokok. 

Apalagi jika proyek infrastruktur tak sesuai harapan untuk menggerakkan roda perekonomian. Maka pengangguran akan bertambah. Kemiskinan bertambah, beban layanan kesehatan bertambah, maka persoalan kesejahteraan tambah rumit.

Sebagai contoh, mereka yang terlibat dalam pengerjaan proyek jembatan, biasanya adalah tenaga kerja yang skill yang memadai. Tak banyak yang menggunakan tenaga kerja lulusan SD,SMP maupun SMA.

 Beda dengan proyek swakelola seperti membangun selokan, pelebaran jalan, dan rehabilitasi sekolah yang dapat dikerjakan warga biasa. Tak perlu skill khusus. Asal bisa mencangkul dan kuat fisik sudah bisa kerja. Di masa pandemi saat ini, proyek proyek swakelola dapat memberi banyak manfaat mengurangi angka pengangguran.

 Keadilan sosial bagi seluruh rakyat adalah cita cita bagi setiap pemimpin negeri ini. Bukan keadilan dan kesejahteraan bagi kalangan kaum oligarki dan sejenisnya.

Ingatlah kata dari Kautilya dalam The Arthashasra lebih dari 2000 tahun lampau, "Sepertinya hal mustahil untuk tidak mencicipi madu atau racun yang mungkin sudah berada di ujung lidah seseorang, demikian pula mustahil bagi orang orang yang berurusan dengan dana dana pemerintah untuk tidak mencicipi, paling tidak setetes saja kekayaan sang raja."

Robby Patria
Mahasiswa S3 University Tun Hussien Onn Malaysia (UTHM)

Ikuti Terus Forum Kerakyatan

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER