Kanal

SJB & NTFP: Jangan Petani Sawit Jadi Kelinci Percobaan KLHK

Laporan: Andini Syafitri

Jakarta:  Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) setakat ini tengah memperkenalkan Strategi Jangka Benah (SJB) yang diklaim sebagai skema penyelesaian dan penataan perkebunan kelapa sawit khususnya di kawasan hutan.

Strategi ini dinilai dapat mengatasi persoalan tumpang tindih pemanfaatan kawasan hutan.
Dimana,  dalam implementasinya, SJB memiliki dua tahap yakni pertama bertujuan merubah kebun kelapa sawit rakyat monokultur menjadi kebun campur sawit dalam bentuk agroforestri.

Agroforestri sendiri diharaplan dapat membuka ruang-ruang negoisasi bagi masyarakat dan pengelola kawasan hutan untuk strategi  fading out kebun kelapa sawit monokultur di dalam kawasan hutan.

Selain itu juga berpotensi meningkatkan pendapatan petani  dari Non-Timber Forest Product (NTFP) atau produk pertanian lainnya selain kelapa sawit.

Kemudian, juga memberikan peluang untuk penguatan posisi petani melalui legalisasi hak akses dalam skema-skema perhutanan sosial.

Tahap kedua bertujuan untuk meningkatkan struktur dan fungsi ekosistem agroforestri kelapa sawit sehingga struktur dan fungsinya dapat menyerupai hutan alami (close to nature).

Menanggapi SJB tersebut, Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Gulat ME Manurung memaparkan Strategi Jangka Benah harus diperjelas diterapkan pada tipologi kawasan hutan: yang bagaimana?.

"Tidak boleh secara acak KLHK menerapkan operasional UUCK, semua turunannya harus patuh ke roh omnibus law. UUCK nya cukup bagus dan menjadi harapan semua masyarakat Indonesia, namun semakin kebawah (turunannya) semakin gak jelas arah dan tujuannya," jelas Gulat.

Kalau seperti ini Gulat mencemaskan   nanti KLHK hanya capek meladeni gugatan masyarakat yang sangat dirugikan karena kebunnya akan berujung dihutankan (phase out petani sawit).

"Ya karena yang itu tadi, bahwa Jangka Benah ini sangat abu-abu dan berujung satu daur dan tidak bisa di replanting. Kalau mau di hutankan, darimana uang negara menghutankan kembali kebun sawit masyarakat yang 2,78 juta Ha dalam kawasan hutan ?," Tidak segampang itu.
Pasti petani sawit akan melawan," kata Gulat kepada forum kerakyatan, Rabu (27/10).

"Dan anehnya yang disasar oleh pengistilahan SJB atau juga NTFP (Non Timber Forest Product) ini kok hanya petani ya? Bagaimana dengan perusahaan yang dalam kawasan hutan?," bebernya.

Menurut Gulat, belum jelas sejauh mana SJB memastikan kesejahteraan petani sawit. Yang selama ini sudah terbukti berpuluh-puluh tahun ya ekonomi sawit dan sangat sustain dari aspek ekologi, ekonomi dan sosial, ujar Ketua Bravo 5 Relawan Jokowi ini melalui sambungan telepon.

Akhmad Indradi, Petani Sawit dari Kalimantan Timur tidak habis pikir atas kegaduhan yang ditimbulkan oleh KLHK ini, silih berganti.

"Dan disaat yang bersamaan, Kementerian Pertanian yang mewadahi Petani Sawit diam seribu bahasa," ujar Alumni Pascasarjana UGM ini.

Presiden Jokowi, katanya sudah berkali-kali mengatakan supaya semua kementerian dalam menjalankan program pembangunan supaya mengedepankan kepentingan masyarakat.

"Tapi kementerian terkait selalu membuat kegaduhan," ujar Indradi.

"Apakah sudah ada naskah akademis nya tentang SJB ini?, atau sudah adakah contoh yang berhasil seperti misalnya Perhutanan Sosial atau mungkin SJB ini? Saya mau melihat langsung dimana lokasinya, jangan hanya narasi," katanya.

Perlu di ingat, Alinea Ke 4 Pembukaan UUD 1945 memuat tentang tujuan bernegara dan tujuan kemerdekaan Indonesia.       

Semestinya,  ini menjadi landasan berpikir KLHK untuk menyelesaikan sawit rakyat di kawasan hutan. Rakyat (warga negara) adalah tujuan utama bernegara, maka harus dilindungi dan disejahterakan. 

"Bukan memprioritaskan pengenaaan denda,  sanksi ini itu, demi kas negara ataupun demi menjaga khayalan peta kawasan hutan dengan modus SJB, NTFP atau Perhutanan Sosial," ujar Indradi.

"Janganlah coba-coba ke petani sawit (kelinci percobaan), terlampau merendahkan kami Petani sawit," Indradi memberi ultimatum.

Apalagi, lanjutnya  saat ini sawit sudah menjadi lokomotif ekonomi Indonesia. Yang mana 42% nya berasal dari keringat petani sawit.

"Cobalah KLHK merenung apa hakikat dari UUCK itu, yaitu menyelesaikan masalah, bukan beternak masalah," tutup Indradi. (AS)

Ikuti Terus Forum Kerakyatan

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER