Dr. Elfis, M.Si
Provinsi Riau merupakan salah satu provinsi yang memiliki lahan gambut terluas di Pulau Sumatera, sekitar 56,1% (4,04 juta ha) dari luas total lahan gambut di Sumatera, berpotensi untuk mengembangkan agroforestri paludikultur.
Dengan adanya agroforestri paludikultur di Riau, diharapkan dapat memberikan nilai tambah tanpa merusak fungsi alami lahan gambut itu sendiri. Dalam dua dasawarsa terakhir, konversi lahan gambut terutama menjadi lahan pertanian telah merusak lahan gambut dengan segala fungsi ekologisnya.
Paludikultur merupakan implementasi “ekonomi hijau (green economy)” atau “ekonomi amanah (responsible economy)”. Pengolahan gambut tanpa bakar oleh masyarakat termasuk dalam kategori ekonomi hijau.
Sistem paludikultur dapat menjaga kondisi gambut dan memproduksi biomassa pada kondisi lahan gambut yang basah dan dibasahkan kembali, menjaga kelestarian jasa ekosistem dan dapat menyediakan akumulasi karbon.
Ada 1463 jenis yang tumbuh di ekosistem rawa gambut dan baru sekitar 40% jenis yang diketahui memiliki nilai manfaat. Paludikultur dikembangkan dalam rangka untuk mengembalikan kelestarian ekosistem gambut dengan tetap memperhatikan kepentingan masyarakat sekitar.
Dengan adanya dua kepentingan ekologi dan ekonomi tersebut, dalam bab ini dibahas beberapa jenis pohon yang berpotensi untuk dikembangkan pada sistem paludikultur, meliputi sebaran tempat tumbuh, budi daya dan pertumbuhan, serta kemampuan adaptasi dalam sistem paludikultur dan prospek ekonominya.
Pemilihan jenis-jenis paludikultur dilakukan dengan mempertimbangkan manfaat dari hasil yang dapat diperoleh, yaitu (1) penghasil pangan (termasuk karbohidrat, buah, bumbu, sayur, minyak nabati), (2) penghasil serat (sebagai alternatif substitusi bahan baku pulp dan kertas), (3) sumber bio-energi, (4) sumber obat-obatan, (5) penghasil getah, (6) hasil hutan ikutan lainnya (rotan, bahan penyamak kulit, bahan baku obat nyamuk, dll), dan (7) jenis bernilai konservasi.
Ekosistem gambut merupakan salah satu ekosistem penting yang berperan dalam pembangunan di sektor kehutanan. Kerusakan ekosistem gambut yang disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pembukaan gambut, pembangunan kanal, perubahan tutupan lahan dan kebakaran.
Ekosistem gambut sangat ringkih (fragile), karena itu tindakan pengelolaannya perlu memperhatikan tipologi dan karakter alaminya. Untuk memulihkan ekosistem gambut yang rusak, diperlukan sistem dan teknik yang sesuai, yaitu paludikultur, dengan memperhatikan aspek ekologi, produksi dan sosial ekonomi.
Sebagai salah satu teknik restorasi dan budi daya di lahan gambut, paludikultur diyakini mampu mengembalikan kondisi bioisik, fungsi ekologis, dan bahkan berpotensi mengembalikan fungsi ekonomi ekosistem gambut.
Riau, merupakan provinsi dengan lahan gambut terluas di Pulau Sumatera yaitu sekitar 56,1% (4,04 juta ha) dari luas total lahan gambut di Sumatera yang terkosentrasi pada Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Siak, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Rokan Hilir dan Kabupaten Indragiri Hilir.
Potensi lahan gambut Riau ini perlu dikelola secara arif sehingga dapat memberikan nilai tambah tanpa merusak fungsi alami lahan gambut itu sendiri. Salah satu upaya untuk menjaga pelestarian lahan gambut di Riau adalah melalui penerapan agroforestri paludikultur.
Urgensi dari penelitian ini adalah untuk merumuskan strategi pengembangan agroforestri paludikultur kompleks pada lahan gambut berskala kecil ramah lingkungandi Provinsi Riau.
Melalui sistem agroforestri paludikultur yang cocok maka dapat meningkatkan produktivitas dan pendapatan para petani/pekebun, petani/pekebun juga diharapkan dapat berperan aktif dalam usaha penyelamatan dan pencegahan kerusakan hutan dan lahan gambut serta mendukung program pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture).
Penelitian awal ini difokuskan kepada implementasi agroforestri paludikultur kompleks pada lahan gambut berskala kecil dengan pemilihan beberapa tanaman pertanian yang dikombinasikan dengan beberapa jenis pohon paludikultur yang ramah lingkungan dan diarahkan untuk penyediaan subtitusi pangan guna mendukung pertanian yang berkelanjutan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa praktek agroforestri berdasarkan kearifan lokal dapat mengurangi degradasi lahan gambut, mengatasi permasalahan kebutuhan lahan pertanian dengan tetap mempertahankan fungsi hutan dan lingkungan bahkan dapat dijadikan sebagai solusi untuk mengatasi permasalahan pemanasan global dan kemiskinan.
Selain itu, beberapa hasil penelitian tentang agroforestri paludikultur, berperan dalam (1) Konservasi lahan, air dan keanekaragaman hayati, (2) Penambahan unsur hara lahan, (3) Pengendalian iklim mikro, (4) Penambahan cadangan karbon (5) Menekan serangan hama dan penyakit dan (6) Peningkatan pendapatan petani.
Metode one village one product movement adalah sebuah metode dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai aktor utamanya dianggap mampu untuk menjadi sebuah model pengembangan agribisnis partisipatif untuk pengembangan komoditas unggulan daerah yang mampu bersaing di pasar internasional.
Dengan metode ini pemerintah daerah bersama penduduk lokal akan bekerja sama untuk membuat one village one product movement. Tiga prinsip utama mengembangkan one village one product movement yaitu: pemilihan produk yang dijadikan komoditas unggulan daerah sehingga mampu bersaing di pasar dunia.
Lima konsep one village one product movement yaitu: (1) mengidentifikasi kemampuan sumber daya lokal yang berpotensi tinggi dalam mengaktualisasikan pengembangan wilayah; (2) memiliki nilai tambah pada keunikan produk daerah; (3) meningkatkan daya saing produk tersebut melalui perbaikan kualitas dan keunikannya, kreativitas dan inovasi oleh penduduk lokal; (4) membuat satu atau dua produk; dan (5) kepemimpinan yang baik. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat setempat, maka perlu mengembangkan informasi, intermediateri, institusionalisasi stakeholders dan inisiative.
Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya, dapat dilihat bahwa kajian tentang penelitian agroforestri paludikultur di Indonesia yaitu berkaitan dengan aspek-aspek silvikultur, lingkungan, sosial, dan ekonomi. Penelitian tentang agroforestri khususnya tentang penguatan praktik agroforesti paludikultur untuk mendukung penyediaan jasa ekosistem, juga menjadi salah satu topik penelitian prioritas dalam strategi nasional Tahun 2013-2030.
Pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian berkelanjutan harus dimulai dari perencanaan penataan lahan yang disesuaikan dengan karakteristik lahan gambut setempat, dan komoditas yang akan dikembangkan. Penataan lahan meliputi aktivitas mengatur jaringan saluran drainase, perataan tanah (leveling), pembersihan tunggul, pembuatan surjan, guludan, dan pembuatan drainase dangkal intensif.
Dimensi dan kerapatan jaringan drainase disesuaikan dengan komoditas yang dikembangkan apakah untuk tanaman pangan, sayuran, perkebunan.
Pentahapan kegiatan meliputi (1)Survey tapak lokasi untuk pembuatan demplot agroforestri paludikultur kompleks pada Kelompok Tani Jaya Mamur di Desa Parit II Kecamatan Sungai Apit Kabupaten Siak, (2) Olah tanah gambut untuk pembuatan demplot agroforestry termasuk pemberian ameliorasi untuk mengatasi kendala reaksi tanah masam dan keberadaan asam organik beracun, sehingga media perakaran tanaman menjadi lebih baik. Kapur, tanah mineral, pupuk kandang dan abu sisa pembakaran dapat diberikan sebagai bahan amelioran untuk meningkatkan pH dan basa-basa tanah, (3) Pemupukan diperlukan karena secara inheren tanah gambut sangat miskin mineral dan hara yang diperlukan tanaman.
Jenis pupuk yang diperlukan adalah pupuk lengkap terutama yang mengandung N, P, K, Ca, Mg dan unsur mikro Cu, Zn dan B. (4) Pemilihan jenis pohon paludikultur yang ramah lingkungan dan diarahkan untuk penyediaan subtitusi pangan guna mendukung pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture), (5) Pemilihan jenis tanaman pertanian yang akan dikombinasikan dengan paludikultur, (6) Pembuatan demplot, penanaman, perawatan.
Saat ini telah tercatat sekitar 134 jenis spesies tanaman endemik lahan gambut seperti sagu, ramin, jelutung, belangiran, gelam, dan lain sebagainya, dan juga ada 81 jenis jumlah tersebut diatas merupakan jenis hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti purun, kangkung, pakis-pakisan dan lain sebagainya yang merupakan jenis yang dapat dikembangkan dalam Paludikultur. Jenis pohon yang akan digunakan pada penelitian ini sebagai paludikultur adalah jelutung rawa (Dyera lowii) dan punak (Tetramerista glabra) sertau gaharu (Aquilaria malaccensis).
Budidaya ketiga jenis pohon ini karena karakter tumbuhan ini spesies rawa asli gambut, dapat memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga dapat menghasilkan biomassa (bahan biologis dari tanaman) yang akan berkontribusi pada pembentukan gambut dalam jangka Panjang.
Tanaman palawija dan hortikultura seperti padi, jagung, singkong, buncis, dan beragam sayur lainnya merupakan pilihan tanam yang menjadi prioritas pilihan untuk dibudidayakan dengan konsep agroforestri paludikultur kompleks, karena waktu panennya yang memakan waktu cenderung lebih singkat. Jenis tanaman pangan yang akan dikombinasikan dengan jenis pohon paludikultur sehingga membentuk agroforestry paludikultur kompleks adalah pisang kepok/pisang tanduk, semangka/melon, jagung manis.***