Sang Surya Mulai Meninggi

Jumat, 24 Februari 2023

Seorang wanita, seorang bayi di gendongannya. Digendong menggunakan kain pelekat. Kain terikat ke bahu kiri, anak tergantung di kain, terdekap di dada kanannya. 

Seorang bocah lelaki mengiringi.Terkadang si Bocah—usia tiga setengah tahun itu jadi pemandu di depan ibunya. Terkadang dia tertinggal beberapa langkah di belakang dan memaksa ibunya, menunggu.

”Ma, lihatlah semut beriring, mungkin mereka mau pergi belanja,” kata si Bocah, seraya berlari kecil. 

Perjalanan mereka lanjutkan. Wanita itu tersenyum, tanpa menoleh ke belakang.

Surya telah merambat naik. Mulai meninggi menghampar senyum di halaman sebuah sekolah dasar, sekolah kami yang dijejal para bocah sekolahan.

”Ma, jadi kita beli kue ‘kakak-kakak’ itu?” si Bocah, menggoda si Ibu. Di teras Jawatan Pegadaian itu, ada kedai makanan ringan dihidang di meja kecil instansi yang ada sejak Zaman Belanda. 

Jawatan Peagadaian, “Dewa Penolong” para buruh perkebunan dan masyarakat miskin terdesak uang. 

Jawatan Pegadaian berkantor di pinggir kota kecil, kota kecamatan, hanya terpaut sekitar 10 meter dari bibir lapangan sepak bola sekolah dasar, sekolahku itu.

Istri Kepala Jawatan itu, wanita Minang beranak tujuh, cukup kreatif menambah penghasilan suaminya. Berjualan makanan ringan, mengail uang jajan kami. Kue “kakak-kakak”, khas, masakannya. Satu dari beberapajenis jualannya.

Saat mentari naik, ketika jam istirahat kami bermain bola di lapangan. Saat itu pula aku selalu melihat si Ibu dengan gendongannya serta Bocah yang mengiringi itu melintas perlahan dari pinggir lapangan.

”Yah, aku panggil abangmu si Surya, biar dia yang membelikan,” sahut si Ibu. Surya duduk di SD kelas 3, tetangga mereka. Surya, bertubuh gempal hitam dan hobby main bola. Aku sekelas dengan Surya.

Pagi itu, bersama teman-teman, Surya bermain bola plastik, segera meninggalkan lapangan. Dan berlari menuju si Ibu. “Iya Etek, biar aku belikan. Si Adek nunggu saja di sini...” Surya berlari menuju Jawatan Pegadaian. 

Lima menit kemudian, si Bocah yang menunggu di pinggir lapangan sudah menggengam kue ”kakak-kakak” yang selalu dijadikan Ibunya sebagai penghibur agar dia betah turut perjalanan rutin sekitar satu kilo meter. Dari rumah menuju persawahan.

Kue Kakak-Kakak? Akh si Bocah itu yang salah ucap. Sebenarnya nama kue itu Dakak-Dakak. Sejenis godok kecil berisi kelapa iris menggunakan gula merah. Dibalut cairan tempug. Lantas, digoreng dan dijual Rp 2,5 rupiah sebuah. 

Dengan uang Rp 10 rupiah si Bocah tadi sudah menggenggam 4 dalam bungkus kertas lembaran buku tulis bekas.

”Cepatlah… kau makan di pondok aja..” si Ibu terus melangkah, perlahan.

Melintasi jalan terjal, mendatar dan menurun di bawah rerimbunan pohon karet yang tak terurus, aku melihat Bocah itu terlalu berhati-hati menapaki jalan dengan genggaman kue ”kakak-kakak” itu di tangan kanannya. 

Sekitar 45 menit perjalanan, mereka tiba di pondok kayu, disisi arah selatan kiri persawahan mereka. 

Sehampar persawahan yang subur. Di pinggir kanan mengalir Sungai Aek Langge. Sungai kecil sumber air persawahan yang datang dari arah Kota Batangtoru, dan bermuara ke Sungai Batangtoru. 

Sungai ini, tempatku memancing ikan ini menjadi pembatas persawahan si Ibu tadi dengan seorang Kakek yang pendengarannya agak kurang.

Pancing kulempar ke sungai. Aku menoleh ke belakang, kepondokperswahan itu. Kulihat, si Ibu membuka gendongan dan meletakkan bayinya di atas lantai papan pondok berukuran 4 kali 5 meter itu. 

Ada tangga yang mesti dilalui memasuki pondok. Tangga penghubung tanah dengan lantai dipisah kolong sekitar 1,5 meter. Aku perhatikan saksama. Kain gendongan si Ibu sudah berubah jadi buaian si Bayi.

Tadi, aku lebih dulu ke sebuah kedai kelontong di pasar kampungku. Aku membeli peralatan pancing dan segera ”meluncur” ke tepian Sungai Aek Langge. 

Aku melihat si Bocah penggeggam kue ”kakak-kakak” itu asyik membuai adeknya. Terkadang kudengar jua si Bocah bernyanyi, kecil suaranya.

Jika kemudian suara burung Ruak-Ruak melengking dari semak, pinggir sungai, si Bocah itu jadi sepi, dia langsung terdiam. Mungkin dia ketakutan. 

Tiba-tiba dia kudengar memanggil ibunya, menyebut adeknya bertingkah. Padahal, mungkin tidak. Aku tersenyum menunggu joranku di sungai yang bening. 

Aku asyik sendiri, Surya temanku tak hobby memancing. ”Akh nanti sore kami mau main bola,” itulah selalu dalihnya saat kuajak memancing.

Sinar surya sudah meninggi jauh melewati ubun-ubunku dengan rasa panas, ketika seekor lele kecil tersangkut di mata pancingku.

 ”Mudah-mudahan kau banyak dapat ikan nak,” kata bapak berwajah ganteng di kedai tempatku membeli peralatan pancing di sebuah kedai kelontong di pasar kampungku ketika membeli peralatan pancing. Doa bapak itu mulai terkabul.

Tetapi, saatnyaa aku diterpa pertanyaan tentang si Bocah dan ibunya. Suami di kedai, istri dan dua anaknya pergi ke sawah. 

Bukankah si Pria pemilik kedai itu, adalah ayah bocah yang membuai adek bayi di pondok itu? Kenapa, si Ibu yang masih muda, cantik, baru berusia 30-an, harus turun ke sawah? 

Setahuku si Ibu itu dari dulu adalah pedagang yang tangguh. Seperti keluarga suaminya, dia juga berasal dari keluarga terpandang dan terhormat di kampungku ini.

Tangguh dalam banyak hal. Paling tidak setelah ibuku—yang juga teman si Ibu itu---sering bercerita kepada ayahku, rada-rada kudengar. 

Semenjak penyakit TBC menyerang suaminya tahun 1962, si Ibu itu sudah bertindak sebagai pahlawan bagi suami dan 4 orang anaknya. Si Ibu itu menurut cerita ibuku, seorang pedagang pesawat radio, barang mahal di kampungku.

Tiga peran sekaligus dia rangkap: pedagang berhasil, ibu dari empat anaknya sampai kemudian menjadi istri yang selalu tabah mendampingi suaminya.

Tahun 1964 anaknya yang kelima lahir, mungkin aja si Bocah yang mengayun adeknya itu.Tahun 1966 si Ibu itu juga kembali dianugerahi anak wanita. Dan seingat saya, tahun silam tahun 1968, lahirlah si Bayi yang kini dibuaian itu.

Edi abang si Bocah itu, kawanku satu kelas, juga hobby bola. Karena Edi pulalah, teman-teman rela menawarkan jasa untuk membelikan kue ”kakak-kakak, eh dakak-dakak buat si Bocah itu.

Aku terus berkhayal dengan genggaman joran pancing di tagan kanan. Tahun inilah saya melihat pemandangan rutin setiap Surya mulai meninggi, si Ibu dengan gendongannya beserta iringan si Bocah melintas di depan sekolah kami.

*********

Pagi ini, Surya mulai meninggi. Aku tengah merenung di kedai kopi pinggir Kota Batangtoru. Aku kembali ke tanah kelahiranku ini, setelah meninggalkannya 45 tahun. 

Hobbyku sebagai seorang pemancing telah mengantarku jauh ke negeri orang. Di negeri orang mungkin aku tidak memancing ikan sepertidi Sungai Aek Langge.Tetapi, filosofinya tetaplah sama. Memncaing rezeki di kehidupan yang kian sulit. 

Bekal pendidikan hanya tamat SLTA membuat “joran” dan ‘umpan” ku kurang mengena. Toh, pertarungan berebut rezeki, tak melulu memakai rumus “joran dan umpan”. 

Sebab, aku selalu ingat pesan pemilik kedai pancing itu, ayah si Edi: Semoga kau dapat banyak ikan hari ini. Sepenggal kalimat harapan yang mewujud jadi sugesti. Hari ini aku kembali.

Ternyata, Kota Batangtroru sudah berubah. Bergeser jauh dari bayangan masa silamku. Tatapan yang dulu bersahaja merekahkan senyum ibu-ibu, kini jadi sorotan tajam bernada hambar. 

Kulihat gedung pertokoan berjajar dengan timpang. Dari sisa bangunan masa silam,  menyeruak keangkuhan tiga gedung menjulang. Terlalu...

Kedai kopi yang dulu tempat para petani melepas lelah sembari menghirup hangat minuman di cangkir keramik, berubah jadi warung berbual tentang orang-orang Batangtoru yang kaya mendadak, setelah menerima dan ganti rugi lahan dari penambangan emas di bebukitan Batubire. 

Batubibire, tempat kami dulu belajar mendaki gunung. Menatap surya senja di ufuk barat bagai bias tempias hamparan laut. Tiba-tiba aku merasa tiba di negeri yang asing...

Kucoba menyusuri jejeran kedai-kedai di bagian dalam. Ternyata, aku juga tak menemukan sisa kenangan. Kedai ayah si Edi itu, tempatku dulu membeli pancing? Tak ada lagi.

”Ayahku, meninggal di tahun 2004 silam,” ujar si Edi teman kecilku dulu, usai shalat Magrib di masjid.

Di perantauan, seperti kusebut tadi, dengan kerja keras aku memang dapat banyak ikan. Aku jadi pedagang di Jakarta. Dan menikah dengan orang Sunda dianugerahi 3 anak. Tetapi, perjalanan hidup memaksaku baru bisa kembali, hari ini.

”Dulu ada kuingat adekmu yang sering menemani ibumu ke sawah, siapa namanya?” aku mencoba mengembalikan ingatan si Edi, ingatanku sebenarnya.

”Oh, itu Wahyudii. Dia sekarang di Riau, dan ibu sejak 15 bulan silam tinggal di rumahnya. Ibuku sakit, stroke tulang. Tak bisa berdiri tak bisa jalan. Tapi fikirannya masih sehat.

Aku sempat merenung ketika dia menyebut nama Wahyudi. Satu-satunya saudara pria-nya yang bertahan, bertempur di negeri orang. Enam yang lain, termasuk Edi, sepakat menetap di Batangtoru. 

Menjalani hidup masing-masing. Ada sarjana, ada PNS dan ada petani. Si Edi saya dengar jadi wiraswastawan, tapi istrinya PNS di SMU Negeri Batangtoru. 

Si Anto di bawah si Edi, sudah Insinyur Pertanian. Si Erson, istrinya PNS dan juga guru sekolah dasar. Endri Mukhsin juga PNS guri di SMP dan yang bungsu si Erminsyah, mengurusi harta orangtuanya.

Mereka, tampaknya, mengikuti takdirnya sendiri-sendiri. Tiga saudaranya yang perempuan juga menetap di Pekanbaru. Kakaknya yang Sulung si Erni juga PNS dan guru skolah dasar, si Efrida juga guru di PT. Chevron dan si Etika menjadi pedagang dan mendirikan pendidikan pra-sekolah. 

Oh ya, saya lupa. Seorang lagi perempuan, si Erma di atas Edi, tinggal di Desa Garoga, Batangtoru menjadi guru sekolah dasar berstatus PNS juga. Lengkap sudah yang terserap dari penggalan masa silam saat bercerita dengan si Edi.

Banyak perkerti yang kupetik dari kisah-kisah si Edi bersaudara. Lantas, aku melihat diriku. Menatap lebh tajam nasibku hari ini. Yang telah ”menghilang” bagai anak peluru, selama 45 tahun. 

Kepergianku hanya membulatkan tekad untuk sebentang pengalaman memperjelas diriku sebagai seorang jantan. Yang mesti berani bertarung di negeri orang. Bukan jadi jagoan di kandang sendiri. Dikampung sendiri. 

Dalam hatiku terlontar jua ucapan syukur: betapa bahagianya mereka?Teringat pria gagah, ayah si Edi di kedai tempatku membeli pancing itu. Andai dia masih hidup? Tiba-tiba aku tersentak, saat si Edi mau pamit pulang.

”Jadi, adekmu yang dulu selalu digendong ibumu ke sawah itu, dimana sekarang?” kutanya Edi yang sudah tak sabaran mau beranjak.

”Eh... itu dia yang menegurmu tadi. Si Erson,” katanya.

Si Erson itu kiranya yang membayarkan kopiku tadi pagi. Kudengar dari teman-teman dia beristirikan seorang guru SD.  

Lebih banyak juga aku mendegar cerita tentang si Wahyudi itu. Di antaranya tentang perlawanannya terhadap sistem ganti rugi tanah untuk penambangan emas di kampung kami. 

Aku diberi seseorang di kedai kopi tiga lembar kliping majalah hasil tulisan si Wahyudi. Menarik juga. Sedikitnya bisa membuka cakrawalaku tentang hal yang akan kuperjuangkan ini. Soal tanah warisan, sebenanrnya.

Tiba-tiba aku teringat si Surya, teman yang tak pernah mau kuajak memancing di Aek Langge itu.

”Terakhir kudengar di Nusa Tenggara Barat. Tak pernah pulang. Yah, namanya Surya, sekali menyinari tak harap kembali,” kata Syahnan Pulungan di kedai kebutuhan harian miliknya sendiridi Pasar Batangtoru. 

Tiba-tiba sebuah mobil pribadi ber- nomor polisi BM parkir di depan kedai Syahnan. Seorang pria agak pendek bergaya parlente turun dari mobil.

”Siapa Nan,” kutanya Syahnan yang juga melirik kedatangan mobil itu.

”Oh, tampaknya adek si Eddi yang di Pekanbaru,” katanya.

Aku memperhatikan langkahnya yang berwibawa. Tentu dia tidak tahu, bahwa aku sedang mengamati langkah seorang bocah yang dulu hobby kue ”kakak-kakak’ itu. 

Kemudian dia memandang ke arah saya. Mata kami bertemu. Dia pula yang duluan mengumbar senyum. Aku mengangguk. Dia mendekat dan mengulurkan tangannya.

”Aku Wahyudi Bang?! ia memperkenalkan diri. Melihat keramahannya aku langsung bertanya tentang ibunya. Sebab, Masih samar diingatanku tentang si Ibu yang menggendong bayinya. Si Bocah yang dulu berjalan lambatdan selalu menunggu Surya di tepi lapangan bola halaman sekolah kami itu.

Hari ini si Bocah itu ada di hadapanku. Luar biasa.

”Ibu, ada saya bawa. Dia mulai membaik,” jawab Wahyudi, ramah.

”Apa kebiasaan Etek, ibumu, sekarang?” tanyaku, menambah keakraban.

“Akh masih seperti dulu..” jawabnya. Aku jadi penasaran.

“Apa yang seperti dulu, Dek?” kukejar perkataannya yang tertatahan:

“Selalu bergerak saat mentari mulai meninggi. Dulu bergerak ke sawah. Kini, ibuku rutin merangkak ke teras rumah saat sinar Surya meninggi, agar bisa menikmai hangat sinarnya".

Kami tertawa. Aku hanya meresapi lebih dalam makna ungkapan seorang Wahyudi. Yang kudengar menjadi seorang wartawan sejati, seorang dosen sekaligus Penulis Buku. 

Mungkin saja, kebiasaan seorang ibu tak pernah berubah. Ia akan tetap lebih damai dan merasa dimengerti jika dekat dengan anaknya yang sejak kecil diakrabinya. 

Justru aku yang mengenang masa kecil si Wahyudi. Yang ditunggu ibunya saat memperhatikan semut beriring. 

Ibunya menunggu dengan sabar dan penuh kasih. Kasih sayang seorang ibu. Sehangat sinar surya, mulai meninggi....***

Pekanbaru, Januari 2011