Pajak Kripto di Indonesia: Regulasi dan Tantangan Implementasi

Senin, 24 Februari 2025

Jakarta, 21 Februari 2025 – Pajak kripto di Indonesia kembali menjadi perbincangan setelah muncul diskusi mengenai penerapan pajak terhadap airdrop serta transaksi di luar negeri.

CEO INDODAX, Oscar Darmawan, menegaskan bahwa meski regulasi pajak kripto sudah berjalan sejak 2022, masih ada tantangan dalam implementasinya, terutama terkait pajak transaksi luar negeri dan adanya Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

Kripto pertama kali dikenakan pajak pada 2017 setelah dinyatakan sebagai komoditas yang sah diperdagangkan berdasarkan peraturan Menteri Perdagangan. Pada periode 2017-2022, pajak yang dikenakan bersifat self-reporting, di mana pendapatan dari kripto dilaporkan dalam SPT dan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) progresif.

Sejak 2022, pemerintah Indonesia menerapkan pajak final terhadap transaksi aset kripto di exchange berizin, yaitu Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,1% dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 0,11%. Skema ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tarif pajak kripto paling rendah di dunia.

CEO INDODAX Oscar Darmawan menjelaskan bahwa kebijakan ini lebih kompetitif
dibandingkan negara-negara lain yang menerapkan pajak progresif berdasarkan keuntungan.

Di Amerika Serikat, misalnya, pajak atas keuntungan dari aset kripto bisa mencapai 40%,
terutama bagi investor dengan penghasilan tinggi. Sementara itu, di Eropa, tarif pajak atas
keuntungan dari kripto dapat mencapai 50%. Sebaliknya, di Dubai dan beberapa negara
Timur Tengah, tidak ada pajak penghasilan sehingga transaksi kripto sepenuhnya bebas
pajak.

Menurut Oscar, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang menerapkan sistem pajak final untuk kripto, serupa dengan mekanisme perpajakan di pasar saham. Di negara lain, pajak kripto umumnya mengikuti skema Pajak Penghasilan (PPh) progresif, di mana semakin besar
keuntungan yang diperoleh, semakin tinggi pajak yang dikenakan dengan besaran tarif
mengikuti pendapatan tahunan orang itu. Dengan adanya pajak final, tarif pajak kripto di
Indonesia justru lebih ringan dibandingkan negara-negara lain yang mengenakan pajak
berbasis keuntungan.

Meskipun lebih rendah, sistem pajak final dinilai kurang ideal karena tetap dikenakan meski
trader mengalami kerugian, berbeda dengan skema capital gains tax yang hanya dikenakan
saat ada keuntungan. Selain itu, trader yang menggunakan exchange luar negeri menghadapi tantangan dalam pelaporan pajak, karena hingga saat ini belum ada sistem yang jelas untuk menagih pajak dari transaksi yang dilakukan di platform asing.

Oscar menyoroti bahwa pajak memengaruhi biaya transaksi di exchange lokal. “Sebagian
besar biaya transaksi di INDODAX digunakan untuk membayar pajak,” ujarnya.

Ia berharap
revisi PMK 68 dapat menghapus PPN agar biaya transaksi semakin kompetitif dan mendorong adopsi kripto di Indonesia.

Terkait transaksi di exchange luar negeri atau yang belum memiliki izin dari OJK, PMK 68
mengatur bahwa pajak PPh final yang dikenakan adalah 0,2% atau dua kali lipat dari yang berlaku di exchange berizin. Namun, ada ketidakpastian dalam implementasi aturan ini.

"Seharusnya, exchange luar negeri yang memungut pajak, bukan tradernya. Tapi karena
belum ada mekanisme pemungutan oleh exchange luar, akhirnya trader yang harus
melaporkan sendiri. Bahkan, di beberapa wilayah, pajak yang dikenakan masih menggunakan
skema PPh progresif," kata Oscar.

Hal ini menyebabkan perbedaan interpretasi di berbagai kantor pajak.
Oscar menyarankan agar para trader yang melakukan transaksi di exchange luar negeri berkonsultasi dengan Account Representative (AR) di kantor pajak tempat mereka terdaftar.

"Setiap wajib pajak memiliki AR di kantor pajak masing-masing, yang bisa diajak berdiskusi
mengenai bagaimana cara pembayaran pajak kripto yang sesuai dengan regulasi," tambahnya.

Oscar Darmawan menilai bahwa skema pajak final ini sudah cukup baik, tetapi ada ruang untuk perbaikan, terutama terkait PPN. Menurutnya, karena aset kripto kini berada di bawah
regulasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai aset keuangan, seharusnya kripto tidak lagi dikenakan PPN, sebagaimana produk keuangan lainnya.

Jika PPN dihapuskan, biaya transaksi akan menjadi lebih kompetitif, sehingga mendorong
lebih banyak investor untuk bertransaksi di dalam negeri daripada menggunakan platform luar negeri dan ujungnya pendapatan negara dari PPH akan mengalami peningkatan lebih
besar. Dengan semakin berkembangnya industri kripto di Indonesia, kebijakan pajak yang lebih fleksibel diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekosistem tanpa membebani
investor dan trader.

"Seharusnya, sebagai aset keuangan, kripto tidak lagi dikenakan PPN,"
jelas Oscar.

Namun, karena PMK 68 masih berlaku, PPN tetap dikenakan hingga regulasi
direvisi.
***