RESISTENSI PERUBAHAN

Ahad, 01 Agustus 2021


By: L.N. Firdaus

Tidak ada satu pun makhluk lain di muka bumi ini, diciptakan dan dihadirkan ke dunia se-istimewa manusia.

Binatang juga bisa berfikir sesuai dengan kapasitas otaknya. Tapi mereka tidak memiliki akal. Akal hanya diberikan Tuhan kepada makhluk ciptaanNya bernama manusia.

Akal adalah amanat yang pernah ditawarkan Allah Swt., kepada langit, bumi, dan gunung (Ahmad Syauqi Ibrahim, 2011), tetapi  mereka semua tak kuasa menerima amanat itu, kecuali manusia. Hanya manusia yang berani mengemban amanat ini.

Lantas, kenapa manusia kemudian mengkhianati amanat yang telah disanggupinya itu, padahal ianya demi keselamatan di dunia dan akhirat?

Kenapa akalnya tak jua paham bahwa semua rayuan, himbauan, nasehat, teguran, larangan, sampai kepada semua bentuk komunikasi dan regulasi pemerintah menghadapi Pandemi Covid19 tak menjadikan mereka insaf? Pelik memang…

Tidak semua orang bisa diajak melihat perubahan. Itulah sebabnya kenapa perubahan terkadang terkesan misterius. Tidak mudah dipegang.  Dia terjadi setiap saat.  Memang setiap perubahan itu butuh waktu, biaya dan tenaga. 

Fremerey (2009) menggambarkan suatu perubahan sebagai proses transisi dari keadaan saat ini (present state) menuju ke suatu keadaan yang diharapkan (desired state).

Present state selalu dalam status keseimbangan yang akan berlanjut hingga timbulnya disrupsi. Anggota organisasi umumnya merasa aman dan stabil dalam kondisi ini.  Banyak yang khawatir kepentingannya terusik jika perubahan itu betul-betul terjadi.

Namun ada juga yang tetap tidur pulas dalam zona nyaman (comfort zone). Ramai juga yang tak paham kemana perubahan itu dirahkan.  Bahkan ramai yang  tak mampu menghadapi keadaan baru. Namun kebanyakan karena terkurung oleh penjara kebiasaan lama.

Perjalan menuju keadaan baru yang diharapkan itu harus melalui zona peralihan (transisi).  Zona ini memiliki stabilitas yang cenderung rendah, tingkat emosional yang tinggi, banyak energi terbuang percuma akibat pertikaian atau pertengkaran yang tidak produktif.

Konflik internal  dalam zona peralihan penuh kecamuk ini cenderung meningkat secara eskalatif manakala pemimpinnya tak lihai meredam konflik. Bahkan dapat bersalin rupa menjadi demo bahkan mengamuk tak tentu pasal melahirkan badai yang menyebabkan kehancuran sebuah organisasi bahkan negara sekalipun.

Transisi muncul dalam setiap upaya pada saat perubahan dan bersifat internal.  Dia merupakan suatu reorientasi psikologis yang harus dilalui orang sebelum perubahan dapat berhasil. Sementara perubahan itu sendiri lebih bersifat eksternal.

Transisi sering membutuhkan waktu lebih lama karena umumnya melalui tiga proses yang terpisah dan seringkali sangat menjengkelkan (Bridges & Mitchell, 2005).

Pertama, orang harus meninggalkan cara-cara kerja lama. Kedua, mereka selalu merasa tidak mampu untuk memulai yang baru meskipun cara-cara lama sudah ditinggalkan. Ranah ini disebut zona netral yang penuh ketidakpastian dan ramai orang kebingungan sehingga banyak menguras energi. Zona netral sesungguhnya sangat tidak nyaman, sehingga ramai orang hendak keluar dari zona ini. 

Sebagian orang mencoba maju dengan bernafsu ke dalam suasana baru, sementara yang lain berusaha berbalik dan mundur ke masa lalu.

Fase ketiga adalah permulaan yang baru (early new normal). Fase ini mengharuskan orang untuk mulai berperilaku dengan cara baru yang seringkali membingungkan.

Penolakan (resistensi)  terhadap perubahan itu bermacam-macam. Ada yang karena tidak dapat melihat risiko besar dari status-quo. merasa kepentingannya terancam, terlena dalam zona nyaman (comfort zone), tidak memahami arah perubahan, merasa tak memiliki kemampuan dalam menghadapi keadaan baru, atau karena terbelenggu dengan  kebiasaan lama.

Perubahan juga menimbulkan ekspekstasi dan kecemasan. Ekspektasi dapat  menimbulkan getaran-getaran emosi dan harapan, namun  bisa juga menimbulkan kehancuran. Itulah sebabnya kenapa perubahan selalu menakutkan dan menimbulkan kepanikan sehingga ramai orang enggan untuk berubah.

Ada banyak kekuatan yang berkerja dalam suatu proses perubahan, baik eksternal maupun internal. Futuris James Canton (2009) mengemukakan lima faktor penentu masa depan eksrim (quantum leap), yaitu kecepatan, kompleksitas risiko, perubahan drastis, dan kejutan di luar imaginasi. Untuk menjawab semua itu diperlukan seperangkat kekuatan penggerak (driving forces) suatu perubahan.

Meskipun arah yang hendak dituju sudah terang benderang, tetapi jika para anggota organisasi tidak memiliki keterampilan yang memadai untuk melangkah (bekerja), maka tidak ada kepastian akan sampai ke tujuan yang telah ditargetkan. Orang akan enggan bertungkus-lumus jika insentif tidak diperhatikan. No Pain, No Gain..!

Lama-kelamaan, orang juga akan merasa frustrasi bekerja dengan ikhlas tanpa ketersediaan sumberdaya yang memadai untuk mencapai tujuan organisasi.

Akhirnya, sebaik dan sehebat apapun dokumen perencanaan  yang berhasil dibuat, tanpa tindakan nyata untuk merealisasikannya dengan penuh integritas dan kearifan, berkemaslah menuai kegagalan. ***

-------------------

L.N. Firdaus: Guru Besar FKIP Universitas Riau, Anggota Komite Penjamin Mutu  Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BPSDM) Provinsi Riau, Alumni Lemhannas RI