Kanal

Kenapa Ketua Majelis Hakim Menolak Penggunaan Drone?

BANGKINANG: Sidang Lapangan atau lebih dikenal dengan Sidang Pemeriksaan Setempat (PS)   Perkara Gugatan  PTP IV Regional III (dulu PTPN V) terhadap Petani KOPPSA M selama dua hari: Senin (3/2) hingga Selasa (4/2), berjalan alot.

Namun, Majelis Hakim yang diketuai Soni Nugraha, S.H.,  yang menyidangkan perkara ini telah melihat langsung kondisi sebagian besar kebun serta prasarana penunjang kebun: saluran air, jalan dan sarana lainnya yang terbengkalai dan memprihatinkan. Bahkan sebagian area tidak terbangun.

Karena kondisi medam yang sulit, Majelis Hakim dan tim Pengadilan Negeri (PN) Bangkinang tidak bisa menjangkau seluruh wilayah kebun KOPPSA M.  

Karena sebagian wilayah kebun yang masih hutan dan sebagian besar sarana jalan yang rusak parah dan tidak sesuai dengan standar perkebunan.

Melihat kondisi, medan yang sulit dan area yang luas itulah tampaknya, pihak Kuasa Hukum tergugat menyiapkan drone sebahai produk tekonologi yang bisa menghimpun data dari kondisi area terperkara tersebut.

"Sayangnya, Ketua Majelis menolak penggunaan Drone," kata Armilis Ramaini, S.H. "Aneh jadinya 'kan?! Kenapa majelis tidak bersedia menggunakan drone. Padahal, kami sudah menyiapkannya," katanya.

Sebenarnya, pihak KOPPSA M selaku tergugat, menyambut baik adanya acara pemeriksaan setempat ini.

"Menurut kami bagi penting Majelis Hakim untuk dapat melihat secara langsung dan objektif kondisi kebun yang sangat memprihatinkan yang selama ini dikeluhkan oleh petani," kata Kuasa Hukum KOPPSA M, Armilis Ramaini, S.H.

Sebab, kata Armilis, semua pihak mesti mengakui, bahwa sumber semua masalah ini, karena tidak adanya pembinaan dari pihak PTP N V selaku penjamin dan "bapak angkat" bagi petani.

Menurutnya, jika drone digunakan akan diperoleh data lebih akurat dari fakta-fakta lapangan tentang kondisi area kebun yang bermasalah. Yang membuat petani dirugikan, sehingga kebun tidak berhasil.

Dalam kondisi begini, kata Armilis petani digugat pula ke pengadilan karena dinilai wan-prestasi atas hutang di bank untuk membangun kebun itu.

"Sudahlah dana tidak digunakan untuk bangun kebun, malah digugat pula untuk membayarnya. Ngeri banget!" Armilis geram.

Seperti ramai diberitakan pers sebelumnya,  Ketua KOPPSA-M (Koperasi Produsen Sukses Sawit Makmur), Nusirwan yang diframing seolah-olah menggelapkan keuangan negara hingga Rp 140 miliar. Ini yang  ditantang keras kuasa hukum Nusirwan, Armilis Ramaini, SH.

"Itu jelas misleading dan mengada-ada," ujar Armilis kepada media, Jumat (24/1/2025) menjawab framing dari kuasa hukum PTPN IV Regional III (dulu PTPN V) yang terbit di sejumlah media online di Pekanbaru.

Dikatakannya, adapun nilai Rp 140 miliar tersebut sebenarnya merupakan nilai yang dibayarkan oleh PTPN kepada bank atas dana kredit/pinjaman dari bank untuk pembangunan kebun di Desa Pangkalan Baru, Kampar.

Sejatinya pembayaran kredit perbankan ini diatur dalam perjanjian KKPA dan Keputusan Gubernur Riau No. 7 tahun 2001 dimana seharusnya pembayaran kredit perbankan bersumber dari sepertiga hasil kebun.

Namun demikian, pada faktanya proporsi sepertiga dari hasil kebun tersebut tidak mencukupi, dikarenakan PTPN lalai dalam menjalankan pembangunan dan pengelolaan kebun sesuai perjanjian KKPA.

"Hingga saat ini setelah hampir 25 tahun kebun dibangun, luasan areal kebun yang dibangun oleh PTPN tidak sampai setengah dari yang diperjanjikan," beber Armilis.

Ditambahkan, luasan kebun yang berhasil dibangun oleh PTPN hanya sekitar 600 ha dari 1.650 ha yang diperjanjikan dalam Perjanjian KKPA. 

"Parahnya kondisi 600 ha kebun tersebut juga sebagian besar terbengkalai tidak terawat dan tidak maksimal produktifitasnya," katanya.

Disebutkan juga, perihal kegagalan PTPN dalam membangun kebun ini sebenarnya telah sejak 2018, yang diungkapkan oleh laporan dari Pemerintah Kabupaten Kampar melaui laporan dan temuan yang diungkapkan Dinas Perkebunan. 

Hal serupa juga telah menjadi temuan tim KOPPSA-M setelah melakukan audit agronomi atas kebun sawit yang dibangun oleh PTPN. 

"Tidak optimalnya produksi sawit karena kelalaian PTPN dalam membangun dan mengelola kebun ini, menyebabkan proporsi hasil kebun yang dialokasikan sebagai pembayaran hutang tidak mencukupi. Karenanya PTPN sebagai avalist (penjamin hutang) berkewajiban untuk membayar hutang ke pihak perbankan tersebut hingga nilai hutang berikut bunganya membengkak sampai 140 miliar rupiah," tambahnya lagi.

Sehingga, sambungnya, apabila kuasa hukum PTPN mengklaim Rp 140 miliar digelapkan oleh koperasi, jelas yang bersangkutan tidak mengerti duduk perkara sehingga mengeluarkan pernyataan konyol.

?Lebih lanjut, dana kredit dari bank senilai puluhan miliar untuk pembangunan kebun sawit di desa pangkalan baru seluruhnya masuk ke rekening PTPN dan dikelola sendiri oleh PTPN pula. 

Menjadi aneh apabila PTPN menuduh koperasi yang menggelapkan dana tersebut. "Duitnya di kelola oleh mereka, malah koperasi yang diframing mengkamplang. Dimana jalannya," tegas Armilis.

Terkait hal ini sikap koperasi sejak awal sudah jelas.  Koperasi meminta dan mendorong BPK dan KPK untuk memeriksa dan melakukan audit atas penggunaan dana kredit pembangunan kebun tersebut, karena hingga saat ini PTPN tidak pernah terbuka mempertanggungjawabkan penggunaan dana tersebut kepada koperasi dan masyarakat pemilik kebun.

Selain itu, pernyataan kuasa hukum PTPN yang seolah-olah dirinya bertindak bak pahlawan bagi masyarakat jelas menyesatkan. 

Melalui kuasa hukumnya, PTPN justru hendak merampas tanah masyarakat dengan meminta sita eksekusi atas tanah masyarakat sebagaimana ternyata dalam petitum gugatannya yang dijukan ke PN Bangkinang.

"Padahal PTPN sebagai perusahaan milik negara harusnya mengutamakan kepentingan masyarakat. Namun alih-alih menindas dan berupaya merampas tanah masyarakat," tandasnya.***

 

 

Ikuti Terus Forum Kerakyatan

BERITA TERKAIT

BERITA TERPOPULER